Saparan di Jatinom
“Ya Qawiyyu”
18 November 2016
Antropologi UGM 2016 goes to Jatinom, begitu kami menyebut kuliah lapangan Dasar-dasar Ilmu Budaya yang diampu oleh Prof. Irwan Abdullah. Kenapa mesti ke Jatinom? Karena pada saat itu bertepatan dengan acara puncak “Ya Qawiyyu”, yang berupa penyebaran apem kepada para pengunjung atau siapapun yang ada di sana yang menginginkan apem tersebut. Namun sebelum saya jabarkan apa saja yang saya dapatkan selama di Jatinom berikut adalah pengantar mengenai upacara Ya Qawiyyu yang disampaikan pula oleh prof. .
Dahulu sebelum sistem kerajaan masuk ke nusantara, wilaya-wilayah yang ada di Pulau Jawa dikuasai oleh seorang Ki Ageng yang biasanya menguasai suatu wilayah tertentu. Akan tetapi setelah sistem kerajaan mulai menguasai Pulau Jawa, ada beberapa kerajaan yang menginginkan wilayah-wilayah yang dikuasai oleh para Ki Ageng tunduk kepada kerajaan tersebut. Apabila mereka tidak mau tunduk, mereka akan dihabisi. Contohnya adalah Ki Ageng Bangir yang ketika itu tidak mau untuk tunduk ke pemerintahan kerajaan. Ketika beliau masuk ke gerbang kerajaan, Ki Ageng Bangir dijatuhi batu yang berukuran besar hingga beliau tewas ditempat.
Di wilayah Jatinom dan sekitarnya dikuasai oleh Ki Ageng Gribig. Setiap hari Jumat, Ki Ageng Gribig tidak pernah ikut shalat jumat di pondoknya, dan ketika ditanya oleh santrinya beliau menjawab bahwa dirinya melaksanakan shalat jumat di Mekah. Dan itu bisa dibuktikan dengan oleh-oleh yang ia bawa berupa roti atau kue yang kini oleh masyarakat disebut sebagai kue apem. Dan jika beliau pulang dari melaksanakan ibadah sholat jumat di Makah maka santri-santrinya akan menunggu dan berebut kue apem yang dibawa oleh Ki Ageng Gribig. Karena semakin banyaknya santri yang menginginkan kue tersebut maka beliau menyuruh istri dan anak perempuannya untuk membuat kue dengan jenis yang sama untuk dibagikan kepada santri-santrinya.
Pada mulanya, kue ini bermakna sebagai tanda maaf, jadi para santri Ki Ageng Gribig akan meminta maaf kepada beliau ketika beliau pulang dari Mekah, dan akan dibalas serta diberikan maaf yang dilambangkan dengan kue apem. Kata maaf dalam bahasa Arab adalah afwan. Kebiasaan masyarakat Jawa yang saat itu susah untuk meniru dan mengatakan afwan, jadi lama-kelamaan masyarakat mengatakan itu dengan kata apem. Kegiatan pembagian apem atau upacara Ya Qawiyyu kini telah di uri-uri oleh masyarakat Jatinom, untuk itu upacara ini selalu dilaksanakan pada hari Jumat selepas ibadah sholat jumat selesai dilaksanakan, pada bulan Safar, yaitu pada tanggal 15 berdasarkan kalender Hijriah.
Pada upacara Ya Qawiyyu akan terdapat ribuan pengunjung dari beberapa tempat di Indonesia, karena upacara ini telah menjadi salah satu objek wisata daerah Jatinom. “ Wah… mbak biasanya rame ini kalau seperti ini. Tiap tahun ya rame, coba aja nanti jam setengah sebelas pasti lapangan ini sudah kan penuh oleh orang.” Begitu ujar seorang ibu penjual es teh yang saya temui di bawah salah satu menara di lapangan tempat pembagian apem di Jatinom.
Upacara ini telah membuka peluang usaha dan mendatangkan keuntungan bagi warga yang bisa berjualan asongan di sekitar area tersebut seperti berjualan minuman dan makanan ringan, balon, ice cream, karena banyaknya pengunjung yang memadati area tersebut, bahkan juga SPG(Sales Promotion Girl) yang menawarkan produknya.
Apem apem yang dibagikan ini diperoleh dari pasokan masyarakat Jatinom sendiri dan masyarakat luar yang ingin ikut menyumbang. Jika masyarakat luar atau pengunjung menyumbang maka akan dibagaikan sebagian kecil. Misalnya seorang pengunjung menyumbangkan 30 apem maka dari ketigapuluh apem tersebut akan dikembalikan 2 atau 3 buah apem sebagai tanda terima kasih. Begitulah keterangan yang diberikan oleh salah seorang warga Jatinom.
Dan benar saja, perlahan orang mulai mendatangi lapangan padahal upacara pembagiannya masih selepas sholat jumat. Jika kita benar benar mendatangi lapangan tersebut selepas sholat jumat maka kita tidak akan bisa jalan karena penuhnya manusia yang ingin ke lapangan. Seperti yang saya alami, jalanan macet karena banyaknya manusia. Jika melihat banyaknya pengunjung yang ke Jatinom, ada beragam mulai dari balita yang bersama dengan ibu dan neneknya, anak-anak SD, remaja, rombongan ibu-ibu pengajian, rombongan peziarah,
Akan tetapi sebelum ke tempat pembagian apem mereka akan melakukan ziarah ke makam Ki Ageng Gribig terlebih dahulu, setelah itu mereka pergi ke sendang, dan kemudian ke gua. Hampir semua melakukannya. Dari rombongan ibu-ibu pengajian, rombongan anak SD, pasangan yang sedang jalan-jalan, bahkan pengunjung yang berpakaian seperti anggota punk.
Pengunjung rela berdesakan untuk turun ke lapangan, bahkan jika tidak bisa turun atau memang tidak ingin ikut berebut apem maka mereka akan berada di pinggiran, atau lebih tepatnya berada di lereng yang curam. Itupun jika memang sudah telat akan sulit untuk bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi di lapangan sana.
Mereka juga berdesakan di lereng di bawah rumpun bambu yang lumayan lebat dan curam. Seorang ibu mengatakan bahwa dirinya penasaran dengan ramenya upacara ini, makanya beliau rela berdiri di lereng dibawah pohon bamboo bersama ratusan orang yang juga penasaran dengan upacara ini. Namun ada juga diantara mereka yang sudah tidak lagi penasaran namun mereka hanya ingin menonton keseruan upacara Ya Qawiyyu ini. Kebanyakan mereka adalah warga sekitar atau warga daerah Jatinom itu sendiri.
Kondisi yang berada di lapangan bawah tidak jauh berbeda. Orang berdesakan untuk mencari tempat yang strategis agar bisa menangkap apem yang dibagikan lewat menara. Kebanyakan mereka adalah kaum laki-laki yang masih muda yang berada ditengah. Sedangkan ibu-ibu yang sudah berumur setengah baya berada di pinggir atau malah berada di bawah menara persis. Namun ada juga ibu-ibu yang ketengah-tengah lapangan berebut apem dengan anak-anak muda.
Terlihat beragam cara mereka lakukan untuk bisa mendapatkan apem, ada ynag menggelar sarungnya lalu dibentangkan bersama temannya, ada yang menggunakan payung yang dimekarkan lalau dibalik, ada yang menggunakan topinya, ada yang menggunakan baju kemudian dibentangkan sehingga melebar, dan yang tak kalah seru ada seorang bapak yang menggunakan jarring atau seser atau bisa juga disebut serok yang biasanya digunakan untuk menyerok ikan di kolam dengan gagang yang panjang sehingga dia bisa menjangkau apem yang masih tinggi.
Begitu antusiasme pengunjung untuk mendapatkan apem, ketika saya tanyakan alasannya kepada salah seorang pengunjung jawabnya adalah “Ya kalau orang tua seperti saya masih menganggapnya sebagai mendapatkan berkah jika dia bisa mendapatan apem tersebut. Namun entah bagi kaum muda disana. Apakah benar-benar ingin mendapatkan berkah atau hanya untuk ikut berseng-senang.”
Namun menjelang berakhirnya pembagian apem ada beberapa orang yang usil melemparan sandal ke seberang dan terjadilah lempare-lemaran sandal. Meski hanya 2 buah sandal, namun itu cukup mengalihkan perhatian.
Salah dua diantaranya saya temui di lereng yang kebetulan beliau berada di samping saya. Ketika saya tanya kenapa tidak ikut turun, bapak disebelah kiri saya menjawab “ Wahh.. mbak saya ini sudah tua pasti ya akan kalah dengan mereka yang muda-muda. Kalupun besan saya pengen makan apem ya mending saya belikan saja mbak. Kalau dapat dari rebutan kan nggak mesti masih enak dimakan apalagi sudah dibuat rebutan kan? Kalau keluarga sendiri sih mereka sedah kenyang makan dirumah.”.
Bapak yang berada di sebelah kanan saya menimpali “Kalau seperti ini biasanya anak-anak di perantauan akan pulang.” Ketika saya tanya “Lho memangnya anak bapak tidak pulang?”. Bapak itu menjawab “Tidak.” Zaman sekarang sudah sibuk kerja tiap hari mbak.” Dan bapak yang berada di sebelah kiri saya juga ikut menjawab “Sekarang itu upacara seperti ini sudah kalah pentingnya dibandingkan dengan pekerjaan. Ya kan? Coba saja jika mau minta libur saja sudah sulit, apalagi cucu saya itu juga sudah sekolah disana. Tapi kalau bagi saya ya tidak apa-apa asal mereka semua sehat dan tidak melupakan landasan hidupnya. Zaman sekarang pergaulan sudah menakutkan mbak, iya to? Lihat saja kan banyak yang pergi kuliah tapi ternyata di kos Cuma main dan kuliah mbolos. Saya takut mbak. Tapi anak saya sejak kecil sudah saya landasi dengan ngaji dan sholat jadi ya saya yakin-yakin saja. Toh sampai sekarang juga mereka mbener.” Kira kira seperti itu yang bapak itu katakan.
Kurang lebih seperti itu yang saya dapatkan ketika saya mendatangi upacara Ya Qawiyyu di Jatinom, Klaten, Jawa Tengah.